Skin Dewi, Mengedukasi Kita untuk Mengenali Kulit Sendiri

Mendirikan produk perawatan kulit (skin care) tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh seorang Dewi Kauw. Hingga pada satu hari, tepatnya lima tahun lalu, anak keduanya, Chloe, lahir dalam kondisi kulit sensitif. Kulit sang anak menunjukkan ruam-ruam dan kemerahan yang ternyata bukan kondisi kulit sensitif biasa. Setelah dibawa ke dokter, ternyata diketahui bahwa kondisi yang dialami anaknya tak wajar. Chloe mengalami dermatritis atopik atau peradangan kulit. "Awalnya dipakaikan salep lalu aku tanya ke dokter kulitnya kira-kira kondisi ini berapa lama. Intinya tidak ada yang tahu dan bisa menjamin itu," kata Dewi ketika berbincang bersama Kompas Lifestyle di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Kondisi itu membuat Chloe harus menggunakan steroid setiap hari.

Hal ini membuat Dewi cemas. Sebab, di satu sisi anaknya membutuhkan steroid, namun di sisi lain ia tahu steroid untuk kulit bisa menyebabkan ketergantungan yang tidak baik bagi anak. Dewi juga merasa stres karena banyak orang di sekitar yang seolah menyalahkannya atas kondisi sang anak.

"Yang paling stressful karena ketemu orang dekat seperti keluarga, saudara, seakan kita yang salah padahal kan bukan," ujarnya.

Dewi pun mulai tergerak untuk mencari tahu dari berbagai sumber mengenai bahan untuk pengobatan dan perawatan kulit yang berhubungan dengan kondisi anaknya. Hingga suatu ketika, ia mendapatkan inspirasi ketika sedang melihat barang-barang natural di Jerman. Di sana, obat-obatan organik bisa ditemukan dengan mudah. Ia pun berpikir untuk mencoba membuat produk kulit dari bahan alami agar minim efek samping. Dewi pun melakukan serangkaian riset dan mengikuti pendidikan khusus untuk mendukung rasa ingin tahunya. Ia mendalami ilmu perawatan kulit organik di Formula Botanica, School of Natural Sciences, Inggris kemudian melanjutkan ke kelas School of Natural Skincare dari Robert Tisserand. Dewi juga mengikuti pendidikan singkat di Grasse Institute of Perfumery France, Prancis. Dewi menyadari bahwa mempelajari tentang produk perawatan kulit tidak semudah yang dibayangkannya. Apalagi sang anak pernah tidak cocok ketika mencoba racikan produk buatan ibunya. "Natural, organik tidak menjamin. Tidak sesederhana itu karena kondisi orang berbeda," kata lulusan teknik kimia University of Washington, Amerika Serikat itu. Merasa cukup memiliki pengetahuan tentang perawatan kulit organik, Dewi pun memproduksi racikan produk skin care organik lewat label "Skin Dewi".

 

Saat ini Skin Dewi sudah meluncurkan enam produk. Beberapa variasi skin care Skin Dewi antara lain Hazelnut Cleansing Milk, Ginkgo Biloba Firming Facial Cream, Helichrysum Brightening Vitamin C Treatment, dan Temulawak Balancing Facial Emulsion. Ada pula Raspberry Cleansing Milk dan Calendula Shooting Gel. Baca juga: Memahami Beda Produk Natural dan Organik Skincare Dalam waktu dekat, Skin Dewi juga akan meluncurkan tiga hingga empat produk baru yang terdiri dari serum dan pelembap. Sejauh ini, susu pembersih dari Skin Dewi merupakan salah satu yang paling diminati konsumen. Menurut Dewi, konsumen awalnya heran karena produk pembersih tersebut tidak menggunakan sabun. "Awalnya ini mungkin sesuatu yang aneh karena kok malah enggak bersih. Tapi kalau sudah melewati psikologinya itu, itu bagus banget," ujarnya.

 

Produk lokal rasa internasional

 

Tak sekadar berbisnis, Dewi juga merasa terpanggil untuk berbagi ilmu kepada orang banyak tentang perawatan kulit dan pentingnya mengenali kebutuhan masing-masing kulit. Sejak 2015, ia pun menggelar banyak workshop kecantikan yang memungkinkan masyarakat luas produk skin care sesuai kebutuhan kulitnya. "Sudah jalan beberapa tahun, aku berpikir bahwa aku sangat diberkahi. Meski diawali stres sama kondisi anakku tapi sekarang bisa sharing sama orang," ucapnya. Dewi melihat produk skin care lokal saat ini semakin berkembang.

Apalagi saat ini minat pasar pada skin care juga semakin tinggi. Namun, masih banyak kalangan masyarakat yang terpengaruh dengan tren atau pesohor yang menggunakan produk tertentu. Membuat konsumen menyadari pentingnya memahami kebutuhan kulit sendiri baginya adalah sebuah pekerjaan rumah besar. Itulah mengapa Dewi menggelar banyak workshop kecantikan dan beberapa kampanye lainnya. Seperti kampanye terbaru yang dijalankannya: "1MacneFreedom", kampanye untuk orang-orang yang memiliki masalah jerawat.

Dewi ingin mereka memahami bahwa masalah jerawat tak melulu bicara mengenai kulit, tapi juga psikologis dan faktor lainnya, seperti gaya hidup dan tingkat stres. "Kuncinya tahu apa yang kita butuhkan. Itu banyak yang enggak aware. Bukan dari influencer, tren, atau brand," ucapnya. Kisaran harga Skin Dewi mulai dari Rp 70 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung dari ukuran serta jenis produk. Harga yang mungkin terbilang mahal bagi sebagian orang untuk ukuran skin care lokal. Dewi menyadari hal itu. Namun ia menjelaskan alasan di balik mahalnya produk-produk skin care alami.

Misalnya, untuk membuat produk essential oil dengan bahan baku mawar produsen harus mengumpulkan helai bunga mawar (rose petal) dalam jumlah yang sangat banyak. Essential oil tersebut bisa digunakan untuk mengganti fragrance pada suatu produk. Selain wangi, essential oil juga memiliki manfaat bagi kulit. "Kenapa bunga rose mahal sekali minyaknya, karena butuh satu ton rose petal. Satu ton hanya jadi sekian kilogram. Jadi banyak bunga yang harus dicari," kata Dewi.

Sementara itu, produk skin care organik menurutnya sudah selangkah lebih maju dibanding produk natural. Selain menggunakan bahan alami dari tanaman, tanaman itu juga tumbuh terbebas dari bahan-bahan kimia. Di beberapa negara, sertifikasi organik tidak mudah didapatkan karena harus melalui persyaratan yang ketat. Misalnya tanaman harus ditanam tanpa pupuk atau pestisida dan tidak mengandung bahan yang direkayasa genetik.

"Maka organik lebih mahal lagi," kata dia. Dengan standardisasi internasional dalam pengelolaan bahan, rasanya tak berlebihan menyematkan Skin Dewi sebagai "brand lokal, rasa internasional".

Originally Published at KOMPAS